BAGIAN PERTAMA
Pendahuluan
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 di jelaskan bahwa pendidikan Nasional bertujuan “Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dalam konsep tujuan tersebut terbentuknya akhlak mulia inilah yang sebenarnya menjadi tujuan pendidikan Islam, apapun materi yang diajarkannya. Karena itu setiap guru harus mampu menjelaskan ruh Islami yang relevan dan atau terkandung dalam setiap materi yang diajarkannya, dengan demikian murid tidak hanya menerima konsep yang semata bersifat ilmu pengetahuan murni tetapi juga memperoleh perspektif agamawi.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mengglobal memberikan dampak bagi dunia semakin global, selain berdampak positif, golobalisasi dunia juga akan berdampak negatif. Diantara dampak negatif globalisasi dunia adalah semakain banyaknya alternatif bagi ukuran akhlak manusia yang cendrung bermuatan materialistik dan intlektualistik semata, maka akibatnya hal-hal yang bersifat spiritualitik diabaikan begitu saja. Dengan demikian, pendidikan akhlak bagi setiap manusia sangat diperlukan demi untuk mengimbangi arus informasi ilmu pengetahuan dan teknologi dunia yang semakin mengglobal dewasa ini.
Berkaitan dengan penomena tersebut diatas, penulis sengaja untuk memuat dalam tugas laporan buku ini memilih kajian atau judul buku”Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih” yang merupakan study Doktoral hasil penelitian dari bapak Prof. Dr. Suwito, seorang guru besar Sejarah Pemikiran dan pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan di terbitkan oleh Blukar Yogyakarta tahun 2004, edisi pertama dengan jumlah halaman 199 serta dimuat dalam VI bab.
BAGIAN KEDUA
Isi
BAB I Pendahuluan
A. Dasar pemikiran
Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia sepanjang sejarahnya. Sejarah-sejarah bangsa yang baik di abadikan dalam al-Qur’an sperti kaum “Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang didapat dalam buku sejarah, ini menunjukkan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh demikian pula sebaliknya suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Nabi Muhammad diyakini oleh ummat Islam sebagi pembawa risalah Tuhan yang terakhir, sudah sejak abad ke 7 masehi menyatakan dengan tegas bahwa beliau tidak diutus kedunia melainkan dengan menyempurnakan akhlak yang mulia. Kebesaran Nabi Muhammad ternyata memperolah pengakuan dunia sebagi tokoh urutan pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah dari seorang non muslim, Michael H. Hart melalui bukunya yang berjudul The 100, a Ranking of the Most Influential Person in History.
Dalam cacatan sejarah yang merupakan binaan Nabi Muhammad pernah mengalami masa keemasandan masa kemunduran, akan tetapi sesudah masa ini di landa peperangan dan kejumudan akhirnya membawa kemunduran. Kemunduran tersebut menyadarkan para tokoh muslim untuk berpendapat mengenai faktor-faktor utama apa saja yang menyebabkan kemunduran ummat Islam masa lalu, masing-masing ahli nampaknya berbeda pendapat sesuai dengan keahliannya, baik di bidang teologi, ahli fiqih, politisi, ekonomi, pendidik bahkan para ahli di bidang ilmu lain tentu mempunyai pendapat yang berbeda.
Dalam konteks permasalahan tersebut diatas, ummat Islam klasik patut menjadi acuan untuk memberikan acuan pada pendidikan masa sekarang dan yang akan datang, karena pendidikan masa tersebut mampu memberikan dorongan terwujudnyta masa keemasan Islam, oleh sebab itu banyak terdapat buku-buku dan artikel tentang berbagai ilmu diantaranya karya pendidikan akhlak , pengungkapan akhlak kembali pemikiran filosof di bidang akhlak dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan barang kali di jumpai pendapat lain dihidupkan kembali untuk pendidikan akhlak masa sekarang dan masa yang akan datang. Adapun yang menjadi alasan pentinya pemikiran akhlak pemikiran Ibnu Miskawaih di bidang pendidikan ahklak diungkap kembali berdasarkan beberapa pertimbangan, Pertama, salah satu karangan Ibnu Miskawaih yang berjudul “Tahzib al Akhlaq wa Tathhir al- A’raq di jadikan pegangan oleh Muhammad Abduh (w. 1905), Kedua, Diasumsikan bahwa pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih tidak merintangi tetapi bahkan mungkin mampu memberikan motivasi bagi adanya pemimikran pembaharuan dalam Islam.
B. Permasalahan
1. Indentifikasi masalah
Permasahan yang ada terkait dengan penelitian dalam buku ini adalah banyak hal yang dapat mempengaruhi konsep di antaranya menyangkut jumlah dan nama sumber karya tulis. Diasumsikan bahwa adanya perbedaan jumlah dan nama sumber karya tulis yang dijadikan bahan penelitian dapat mempengaruhi perbedaan pemahaman untuk mengetahui suatu konsep. Konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih akan berbeda pula apabila ditinjau dari sudut pandang situasi sosial pada saat karya tulis disusun, pada sis yang lain dapat berpengaruh pada konsep pendidikan akhlak yang diketemukan adalah apabila tinjauannya sampai kepada cara mengevaluasi pendidikan akhlak, kurikulumya alat, dan atau media yang di gunakan.
2. Rumusan masalah
Masalah penelitian dalam buku ini adalah sebagai berikut:
• Apa (ontologi) pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu Miskawaih?
• Bagaimana metodologi (efistimolgi) pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu Miskawaih?
• Apa nilai (aksiologi)pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu Miskawaih?
• Apa semangat (spiritualitas) pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu Miskawaih?
3. Ruang lingkup
Ruang lingkup penelitian dalam buku ini adalah konsep manusia, pokok keutamaan manusia, dan pendidikan ahklak.
4. Penegasan Istilah
• Konsep dan konsepsi. Sebagaimana penjelasan Harsja W. Bachtiar, ada perbedaan penggunaan konsep dan konsepsi. Konsepsi adalah pengertian terhadap sesuatu yang terkait dengan sesuatu tertentu pula, sedangkan konsep berlaku lebih luas.
• Akhlak. Akhlak adalah jama dari khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabi’at, watak, adab/sopan santun dan agama. Menurut para ahli masa lalu, akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang dimaksud dengan akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dasar dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk. Akhlak juga disebut dengan ilmu tingkah laku, maksudnya pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolenya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan untuk mensucikannya. Dan lain-lain.
• Pendidikan akhlak. Hakekat pendidikan akhlak adalah inti pendidikan semua jenis pendidikan karena ia mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya.
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
1. Hakekat manusia
Perihal hakekat mausia, dapat dperolah bebrapa konsep. Konsep materialistis lebih cenderung pada pendapat bahwa manusia hanya memiliki satu unsur yakni jasad, dalam konsep ini yang berfikir dari diri manusia bukanlah akal yang bersifat immateri melainkan otak yang berbentuk fisik. Adapun konsep intelektulistik memang mengakui bahwa manusia memiliki dua unsure yakni jasad dan ruh. Akan tetapi ruh dalam konsep ini diberi pengertian hanya daya berfikir. Daya rasa yang berpusat di dada yang erat kaitannya dengan hati nurani tidak di tonjolkan.
Dalam dunia pendidikan konsep pertama lebih mementingkan kemajuan material dan konsep kedua lebih mementitingkan kemajuan intelektual. Kemajuan hati nurani yang mampu member keseimbangan kemajuan materi dan intelektual tidak di perhatikan.
Sedangkan konsep Islam berpendapat bahwa manusia memiliki dua unsur yakni jasad dan ruh, hal ini didapat dari beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits.
2. Hakekat manusia
a. Aliran-aliran dalam pendidikan
Selain pendapat tersebut diatas, dalam dunia pendidikan umum dijumpai tiga aliran pendidikan sesuai dengan pandangannya tentang mausia, yaitu emfirisme, nativisme, dan konvergensi. Empirisme di pelopori oleh John Locke berpendapat manusia dilahirkan sebagai kertas kosong, putih bersih (tabularasa), Nativisme Arthur Schopenhauer (1768-1860) berpendapat bahwa manusia di lahirkan telah membawa bakat yang secara cepat atau lambat bakat tersebut akan terwjud.
Adapun Konvergensi yang dipelopori oleh William Stren (1871-1939) berpendapat bahwa merupakan perpaduan empirisme dan nativisme bahwa keperibadian seseorang dibentuk dan dikembangkan oleh faktor dasar dan faktor ajar.
b. Persamaan dan Perbedaan dengan Islam
Dalam kegiatan pendidikan, emfirisme memberi peran besar terhadap pendidik, nativisme member peran besar yang lebih besar terhadap peserta didik, sedangkan konvergensi member tanggung jawab bersama antara pendidik dan peserta didik . Apabila dibandingkan dengan manusia menurut konsep Islam, maka ketiga aliran pendidikan tersebut ada beberapa titik persamaan dan perbedaan.
Baik Islam maupun empirisme berpendapat bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Diantara persamaan nativisme dengan Islam adalah keduanya mengakui pentingnya pembawaan. Keduanya mengakui bahwa pendidik lebih identik berfungsi sebagai fasilitator, hanya saja dalam Islam pendidik mempunyai tugas yang lebih. Adapun sisi persamaan dan perbedaan dengan konvergensi dan Islam diantaranya mengakui bahwa faktor dasar dan faktor ajar penting bagi pembentukan dan pengembngan kepribadian anak didik, sementara itu konvergensi lebih dikenal dengan kesejahteraan duniawi karena landasan filsafatnya anthropocentric maupun theocentric mengakui adanya kebebasan dan sekaligus keterikatan.
c. Unsur-Unsur Pendidikan
Pada initinya, suatu sistem pendidikan memiliki dua unsur pokok, yaitu 1) unsur pelaku (organik) seperti pendidik, anak/peserta didik atau pelaksana lainnya; 2) unsur lain yang bukan pelaku (anorganik) berupa piranti keras maupun piranti lunak seperti tujuan , filsafat, sarana, dan lingkungan dan hubungan masing-masing unsur tersebut merupakan satu kesatuan, saling melengkapi dan antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Karenanya keberhasilan pendidikan banyak dipengaruhi oleh berbagai unsur tersebut.
3. Pendidikan Ahklak
Berbeda dengan pendidikan secara umum, pendidikan akhlak terbagi kedalam dua aliran: rasional dan mistik. Apabila dilihat dengan uraian sebelumnya, pembagian aliran-aliran dalam pendidikan akhlak ini hanya melihat manusia dari sisi immateri. Uraian sebelumnya menyatakan bahwa unsur immateri dalam Islam terbagi dua: unsur rasio dan unsur rasa. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional disini adalah pendidikan ahklak yang memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya fikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya rasa pada diri manusia.
Dalam Islam, kedua aliran ini berangkat dari dua sumber yang sama, yaitu ajaran Islam. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan filosofis dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam. Perbedaan tersebut pada dasarnya berpulang pada persoalan teologi.
B. Penelitian yang Sudah Ada
Diakui bahwa telah ada kajian terhadap sebahagian pemikiran Ibnu Miskawaih. M. S. Khan, Badruddin, Bhat, B. H. Siddqui dan Muhammad Arkoun telah mengkaji beberapa pemikiran Ibn Miskawaih di bidang sejarah. Adapun pemikirannya dibidang fisafat akhlak sudah dikaji antara lain ‘Abd Al-‘Aziz’Izzat, Richard Walzer, Majid Fakhry, Ibrahim Abu Bakar dan lain-lain
Kajian khusus mengenai pemikiran pendidikan sosial Ibnu Miskawaih dilakukan oleh ‘Abd al-Jabbar Majid Jamin. Ia berkesimpulan bahwa Ibnu Miskawaih memberikan dorongan kuat agar manusia hidup bermasyarakat. Ahmad Abd Al-Hamid Al-Syair dan Taufiq Al-Thawil juga didapati memberi komentar tentang pemikiran ahklak Ibnu Miskawaih, keduanya berpendapat bahwa corak Ibnu Miskawaih adalah rasional. Rasionalitas pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih menurut analisis Ahmad Abd Al-Hamid Al-Syair didsarkan pada dua hal pokok yaitu 1) jiwa manusia yang di analisis secara filosofis, 2) analisis doktrin jalan tengah dalam akhlak.
Karya Ibnu Miskawaih di bidang akhlak seperti di asumsikan diatas merupakan pendidikan akhlak rasional. Terhadap rasionalitas pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih terdapat berbagai komentar. De Boer menyatakan bahwa Ibnu Miskawaih gagal dalam usaha mengkombinasikan pemikiran akhlak Yunani dengan hukum Islam, sedangkan Ahmad Fu’ad Al-Ahwani menyatakan bahwa Ibnu Miskawaih lebih terpengaruh oleh filsafat dibanding agama. Sementara itu Abd Al-Aziz Izzat menyatakan bahwa Ibnu Miskawaih adalah pemikir Islam pertama di bidang akhlak karena itu ia dapat digolongkan sebagai guru ketiga setelah Al-Farabi dan Ariestoteles.
BAB III Metodologi Penelitian
A. Obyek dan Sumber Penelitian
Obyek penelitian dalam buku ini diarahkan kepada filsafat Ibnu Miskawaih di bidang pendidikan akhlak yang dapat dipahami dari sebagian karyanya. Falsafat pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih yang di teliti menjangkau tiga hal: 1) konsep manusia. 2) konsep keutamaan akhlak. 3) konsep pendidikan akhlak. Penelitian ketiga hal tersebut diatas diarahkan untuk memperoleh jawaban mengenai ontologi, epistimologi, aksiologi, dan spiritualitas pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih. Selain itu penelitian ini diarahkan untuk memperoleh jawaban apakah terdapat keselarasan antra konsep pendidikan akhlak dengan konsepnya tentang manusia dan pendapat apa saja yang masih relevan untuk dikembangkan atau bahkan sebaliknya ditinggalkan pada era globalisasi ini.
Adapun sumber pemikiran Ibnu Miskawaih yang dijadikan penelitian dalam penelitian buku ini adalah sembilan (9) karya tulisnya dibidang fisafat. Kesembilan karya tersebut adalah 1) Tahdzib Al-Ahklaq wa Tathir Al- Araq. 2) Kitab Al-Sa’aadat. 3) Al-Hikmat Al- ‘Araq. 4) Kitab Al- Fauz Al- Ashghar. 5) Maqalat fi Al- Nafs wa Al- ‘Aqi. 6) Risalat fi Al-Laz- zat wa Al-Alam. 7) Risalat fi Mahiyyat Al- Adl. 8) Kitab Al-Aqi wa Al- Ma’qil. 9) Washiyyat Ibn Miskawaih.
B. Pendekatan Fisafat
Semua karya yang dijadikan sumber utama penelitian buku ini adalah naskah/teks falsafat yang dihasilkan seorang filosof Ibnu Miskawaih yang hidup tahun 932-1030 M. Karena itu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat.
Penelitian inipun tidak memandang pemikiran Ibnu Miskawaih menurut arti sosiologis, budaya, dan politik.
C. Metode Hermeneutik
Penelitian ini pada hakekatnya berupaya memahami teks/naskah falsafah karya Ibnu Miskawaih melalui inter-pretasi. Karena itu metode yang tepat untuk ini adalah metode hermeneutik. Adapun teknik analisis yang dilakukan untuk menerapkan metode ini adalah: 1) teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri tidak terikat oleh pengarangnya, waktu penciptaannnya dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang di tempat dan waktu teks tersebut di ciptakan. 2) melakukan intraksi dengan teks sehingga terjadi asosiasi antara peneliti dengan dunia teks. 3) proses interpretasi.
BAB IV Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih
Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Miskawaih dikenal sebagai intelektual Muslim pertama di bidang fisafat akhlak. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawaih. Akan tetapi ada orang yang menyebut namanya dengan Ibnu Miskawaih dan ada pula orang yang menyebut dengan Maskawaih atau Miskawaih.
Ibnu Miskawaih lahir di Rayy dan meninggal di Isfahan. Tahun kelahirannya diperkirakan 320H/932M dan wafat 9 Shafar 421/16 Pebruari 1030. Ibnu Miskawaih sepenuhnya hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450) yang berfaham syiah.Latar belakang pendidikannya secara rinci tidak diperolah keterangan. Akan tetapi ia didapati belajar sejarah kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadi. Pelajaran fisafat ia peroleh dari ibn Al-Khammar dan pelajaran kimia didapat dari Abu Thayyib.
Pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, skretaris pustakwan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Adapun karya tulisnya begitu banyak, diantaranya, Risalat fi Al-Lazzat wa Al-Alam, Risalat fi Al-Thabi’at, Risalat fi Jauhar Al-Nafs, Maqalat Al-Shuwar Al-Ruhaniyyat dan lain-lain.
BAB V Hasil Penelitian
A. Kosep Manusia
1. Jiwa-Jasad dan Hubungan Keduanya
Pendapat Ibnu Miskawaih tentang jiwa dan jasad serta hubungan keduanya tidak akan dipahami secara baik bila tidak ditelusuri dari dasar pemikirannya tentang peroses kejadian ala mini. Ibnu Miskawaih, seperti halnya Al- Kindi, Al- Farabi dan Ibn Sina, mempunyai kesamaan pendapat bahwa munculnya materi yang banyak di alam semesta ini terjadi karena pancaran (emanasi) dari Yang Maha Satu. Pancaran yang diartikan sebagai penjadian ini, secara sederhana di uraikan sebagai berikut.
Tuhan menjadikan akal- akal sebagai inti bagi dua alam; makrokosmos dan mikrokosmos. Kedudukan akal-akal ini adalah sebagai penguat dan pememlihara kedua alam tersebut. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa masing-masing akal mempunyai obyek pemikiran: 1) berfikir tentang Pencipta-Nya, dan 2) berfikir tentang dirinya. Yang mula pertama dijadikan Tuhan adalah akal. Karena itu ia merupakan wujud kedua. Akal pertama merupakan Wujud Kedua ini berfikir tentang penciptaannya menimbulkan Wujud Ketiga/Akal Kedua dan seterusnya sampai kepada Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh ini, berhentilah timbulnya akal-akal. Menurut Ibnu Miskawaih kesepuluh akal tersebut hakikatnya adalah malaikat, hanya saja ia tidak menjelaskan lebih lanjut tentang malaikat-malaikat yang dimaksud.
Penggerak jasad manusia bukanlah jiwa melainkan natur materi itu sendiri. Oleh sebab itu, gerak jasad manuisa bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi. Setelah diketahui persoalan mengenai jasad, jiwa sebagai natur jasad, dan jiwa dari pancaran Tuhan, maka berikutnya ada tiga persolan yang di bicarakan yaitu:
a. Hubungan Jiwa Sebagai Natur Materi dengan Jasad
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan jiwa al-bahimiyyat/al-syahmiyyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyyat/al-sabu’iyyat (berani) dengan jasad pada hakekatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau lemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Begitu pula sebaliknya
b. Hubungan Jiwa Sebagai Natur Materi dengan Jiwa Berasal dari Ruh Tuhan
Hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jiwa yang berasal dari pancaran Tuhan oleh Ibnu Miskawaih sebagai hubungan ruhani yang tingkat penguasaanyapun ruhani juga. Kalau hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jasad belum mampu melahirkan kesadaran diri sebagai manusia, maka dampak hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jiwa yang berasal dari pancaran Tuhan, telah mampu melahirkan kesadaran sebagai manusia, seperti munculnya perasaan malu, sedih, senang, atau pendapat-pendapat yang mulia dan sebagainya.
c. Hubungan Jiwa yang Berasal dari Ruh Tuhan dengan Jasad
Berbeda dengan kedua jiwa sebelumnya, Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa jiwa yang berasal dari ruh Tuhan ini mempunyai aktivitas tersendiri secara khusus tanpa menggunakan alat yang terdapat dalam tubuh manusia. Alat-alat itu menurutnya justru akan menghalangi kesempurnaannya. Krena itu jiwa ini tidak menjadi kuat karena kuatnya tubuh dan sebaliknya tidak lemah karenanya.
Dari uraian tentang hubungan jiwa-jasad diatas dapat di simpulkan bahwa, menurut Ibnu Miskawaih ada dua jenis hubungan: 1) hubungan saling mempengaruhi, 2) hubungan gerak melingkar yang terjadi antara jiwa al-nathiqat dan jasad.
2. Sumber Perilaku dan Kualitas Mental
Yang dimaksud dengan sumber perilaku di sini adalah unsur pokok manusia yang menjadi sumber semua perilaku jasmani. Adapun kualitas mental, yang dimaksudkan adalah unsur pokok manusia yang merupakan asas sifat batin (spiritual).
Menurut Ibnu Miskawaih unsur-unsur pokok yang menjadi sumber perilaku dan kualitas mental manusia tidak berkembang secara serempak. Daya yang pertama kali tampak pada diri manusia adalah daya bernafsu. Daya ini terwujud dalam aktivitas jasmani untuk makan, minum, tumbuh, dan berkembang biak. Setelah itu muncul daya kebuasan/keberanian dan daya yang terakhir adalah daya berfikir karena daya ini merupakan daya kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk lain.
3. Manusia Ideal
Manusia yang ideal yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah sama dengan manusia yang mempunyai derajad yang tinggi, oleh sebab itu menurutnya manusia yang ideal adalah mereka yang mampu mencapai keutamaan masing-masing jiwa. Hasil dari semua keutamaan adalah keadilan pada diri dan orang lain. Menurut pandangan Ibnu Miskawaih manusia tersusun dari dua unsur pokok: jasad sebagai wawasan material dan jiwa sebagai wawasan spiritual.
Ibnu Miskawaih sangat memperhatikan adanya keseimbangan bagi semua unsure manusia dalam rangka pendidikan akhlaknya. Jadi nampaknya beliau lebih cendrung melihat manusia dari wawasan spiritualnya.
B. Pokok Keutamaan Akhlak
Pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebijaksanaan. Ibnu Miskawaih berpendapat kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Secara sederhana, maksud dari kebijaksaan di sini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan apa saja sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan untuk wajib melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
2. Keberanian. Keberanian merupakan keutamaan jiwa al-gadabiyyat/al-sabuiyyat. Keutamaan ini muncul pada diri manusia selagi nafsunya dibimbing oleh jiwa al-nathiqat, artinya ia tidak takut terhadap hal-hal yang besar jika pelaksanaannya membawa kebaikan dan mempertahankannya merupakan hal yang terpuji.
3. Menjaga kesucian diri. Pokok keutamaan akhlak yang ketiga ini adlah menjaga kesucian diri (al- iffat/temperance). Al-iffat merupakan keutamaan jiwa al-syahwaniyyat/al-bahimiyyat. Keutamaan ini akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya di kendalikan oleh pikirannya, artinya ia mampu menyesuaikan pilihan yang benar sehingga bebas, tidak dikuasai dan tidak diperbudak oleh nafsunya.
4. Keadilan. Secara umum konsep keadilan menurut Ibnu Miskawaih tampak Platonik, akan tetapi kelihatan pula ia secara mudah mempertemukan perangkat-perangkat keadilan itu kedalam kerangka Aristotelian. Jadi keadilan tersebut didefinisikan sebagai kesempurnaan dan pemenuhan ketiga keutamaan yaitu kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri yang hasilnya adalah keseimbangan. Oleh sebab itu Ibnu Miskawaih membagi keadilan itu menjadi tiga macam: 1) keadilan alam, 2) keadilan menurut adat/kebiasaan, 3) keadilan Tuhan.
C. Pendidikan Akhlak
1. Landasan. Landasan-landasan pemikiran Ibnu Miskawaih adalah al-Qur’an dan hadits yang dilengkapi dengan beberapa pemikiran-pemikiran filosof Yunani, Persia, India, sastrawan Arab, dan para filosof Muslim.
2. Tujuan. Tujuan pendidikan akhlak yang dirmuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
3. Materi. Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan, atau diperaktikkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibnu Miskawaih dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah. Ibnu Miskawaih menyebut tiga hal pokok yan dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu, 1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, 2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, 3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.
4. Pendidik dan Anak Didik. Menurut Ibnu Miskawaih, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikan dari orang tua kepada anaknya adalah syariat.
5. Lingkungan Pendidikan. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha untuk mencapai al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong menolong dan saling Melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai.
6. Metodologi
a. Perubahan Akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih akhlak manusia terdapat dalam ketiga jiwa manusia. Karena itu ia berpendapat bahwa adanya manusia itu atas kehendak Tuhan, tetapi urusan perbaikannya di serhkan kepada manusia sendiri. Barangkali dari sisi ini, Ibnu Miskawaih ingin menyatakan bahwa perbuatan manusia dan akibatnya merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri. Dari pernyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa akhlak merupakan urusan manusia sendiri, artinya baik buruk, terpuji atau tercelanya akhlak seseorang tergantung kepada orang itu sendiri.
b. Perbaikan Akhlak. Metode perbaikan akhlak dapat diberi dua pengertian, Pertama, metode mencapai akhlak yang baik. Kedua, metode memperbaiki akhlak yang buruk. Ada beberapa metode yang dimajukan Ibnu Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan sopan santun yang sebenarnya sesuai dengan keutaman jiwa. Kedua, Melakukan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Ketiga, introspeksi/mawas diri. Keempat, metode oposisi.
c. Sumber dan Sifat Buruk dan Lawannya. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa sumber dari sifat buruk adalah marah, takut mati dan sedih. Marah dinilai Ibnu Miskawaih sebagai penyakit hati yang paling serius, walaupun pada situasi tertentu tidak tercela. Penyakit jiwa yang dianggap serius oleh Ibnu Miskawaih adalah takut mati, menurutnya orang yang takut mati dapat terjadi karena beberapa sebab, setidaknya ada tujuh sebab yang menjadikan sseorang takut mati karena, 1) tidak mengetahui hakekat kematian, 2) tidak mengetahui kesadaran jiwa, 3) tidak mengetahui kekekalan jiwa, 4) adanya dugaan bahwa mati merupakan sakit yang amat berat, 5) keyakinan adanya siksa, 6) tidak tau apa yang akan dialami setelah kematian dan 7) adanya perasan berat untuk berpisah dengan keluarga, harta, dan kenikmatan dunia lainnya.
d. Pendidikan Akhlak untuk Anak dan Remaja. Perkembangan jiwa manusia merupakan landasan bagi Ibnu Miskawaih untuk menyusun konsep pendidikan akhlak anak dan remaja. Perhatian Ibnu Miskawaih terhadap pendidikan akhlak untuk anak dan remaja adalah menyiapkan secara dini ketangguhan mereka untuk memperlemah sumber penyakit jiwa yang telah diuraikan sebelumnya, yakni marah, takut mati, dan kesedihan.
BAB VI Kesimpulan dan Implikasi
A. Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya, penelitian ini dapat di simpulkan sebagai berikut:
1. Pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih didasarkan pada konsep tentang manusia. Tugas pendidikan akhlak adalah memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar mencapai tingkatan manusia yang seimbang/harmonis sehingga perbuatannya mencapai tingkat perbuatan ketuhanan. Perbuatan yang demikian adalah yang semata-mata baik dan yang lahir secara spontan.
2. Pendekatan yang dipergunakan Ibnu Miskawaih untuk mencapai manusia yang seimbang/harmonis adalah:
a. Daya bernafsu diarahkan agar mencapai tingkat” mampu menjaga kesucian diri” yakni tidak tenggelam dalam kenikmatan dan melampui batas, bukan pula tidak mau berusaha untuk memperoleh kenikmatan sebatas yang diperlukan.
b. Daya berani diarahkan untuk mencapai tingkat “keberanian” yakni tidak takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakuti dan bukan pula berani terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini.
c. Daya pikir diarahkan untuk mencapai tingkat “kebijaksanaan” yakni memiliki kemampuan rasional untuk membuat keputusan antara yang wajib dilakukan dan yang wajib ditinggalkan.
3. Nilai yang terkandung dalam konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih terletak pada penempatan syariat dan falsafat. Syari’at dan filsafat di tempatkan pada posisi penting masing-masing. Syari’at penting pada tempatnya dan filsafat juga penting pada tempatnya
4. Spiritualitas pendidikan akhlak menurut konsep Ibnu Miskawaih terletak pada akhlak moderasi. Akhlak moderasi intinya mengandung makna jalan lurus, benar, selamat, adil, harmonis, seimbang dan utama. Akhlak yang demikian tidak hanya mengandung arti etos kerja yang tinggi dan nuansa dinamika individu dan sosial melainkan juga selalu relevan dengan tantangan zamannya, tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak.
B. Implikasi
Dalam taraf yang lebih operasional, kesimpulan diatas membawa beberapa implikasi. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan akhlak yang berfungsi untuk memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia menghendaki adanya sistem pendidikan akhlak yang didasarkan pada perkembangan jiwa manusia.
2. Pendekatan pendidikan akhlak yang mengarah pada tercapainya keutamaan jiwa bernafsu dan jiwa berani memerlukan adanya pendidik yang mampu memahami spirit syariat sehingga patut menjadi teladan yang baik. Adapun pendekatan pendidikan akhlak yang mengarah pada tercapainya jiwa berfikir memerlukan adanya pendidik bijaksana yang mampu memahami spirit falsafat sehingga ia dapat mengaktualisasikan semangat penyadaran dan pemberdayaan daya al-natthiqat.
3. Nilai pendidikan akhlak yang menempatkan syari’at dan falsafat pada posisi penting masing-masing menghendaki adnya keterpaduan logis dan proporsional antara berbagai materi pendidikan
4. Spirit akhlak moderasi menurut kemampuan pendidik untuk mengantisipasi perubahan nilai sosial budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi. Kemampuan antisipatif ini perlu diwujudkan daam bentuk penghayatan agama yang dinamis, pemikiran strategis dan logis, dan karya-karya berikut tindakan nyata yang sosialis agamis sehingga semua itu dapat membuahkan akhlak sosial yang rasional.
BAGIAN KETIGA
Kesimpulan
A. Kesimpulan
Dari uraian penjelasan buku ini tentang Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dapat di simpulkan sebagai berikut:
1. Setelah penulis membaca secara seksama tentang isi buku ini, sungguh sangat menarik untuk di simak dan dibaca, sebab pendidikan akhlak merupakan faktor yang sangat penting bagi setiap Muslim dalam menata hidup dan kehidupan sehari-hari baik dimasa sekarang maupun masa yang akan datang. Realitas menunjukkan bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis multidimensi yang tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya, akibatnya meraja lela perbuatan-perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan seperti korupsi yang lagi marak dan boleh dibilang sudah mentradisi dilingkungan masyarakat. Di Negara kita banyak orang yang mempunyai intelektualitas tinggi, mengetahui teori dan konsep akan tetapi dalam internalisasinya lebih di pengaruhi oleh hawa nafsu semata, bukankah Rasulullah bersabda” Kalau engkau tidak mempunyai rasa malu maka perbuatlah sekehendakmu” (Al-Hadits).
2. Adapun pendekatan dalam penulisan buku ini sudah jelas, karena pemaparannya dari hasil penelitian maka tekniknya dengan memakai dua metode yaitu: 1) pendekatan filsafat, yang pendekatannya secara menyeluruh, mendasar, serta spekulatif karena ketiga hal ini merupakan karaktristik berfikir filsafat dan 2) metode hermeneutik yakni dengan memahami teks/naskah filsafat karya Ibnu Miskawaih melalui interpretasi.
3. Menurut hemat penulis selama membaca buku ini, gaya bahasa dan pencetakan serta kapr yang indah dengan warna biru putih kehitam-hitaman sungguh sangatlah mudah dipahami dan siapapun akan mampu untuk berintraksi dengan buku ini. Walaupun dalam buku ini masih banyak di cantumkan istilah-istilah ilmiyah, namun ini adalah sebuah pembelajaran yang patut untuk direspon secara positif.
B. Saran
1. Buku yang berjudul “Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih” menurut hemat penulis merupakan hasil karya yang sangat bagus, namun gaya bahasa dan teknik-teknik penegasan ilmiyah perlu di sederhanakan kembali agar lebih mudah di pahami serta dimengerti.
2. Dalam penulisan footnote sebaiknya dituangkan langsung di bawah tidak di sendirikan dalam halaman lain, maksudnya adalah agar para pembaca lebih mudah memahami sumber-sumber rujukan sekaligus sebagai reverensi pembaca selanjutnya guna menambah khazanah ilmu pengetahuan.
3. Buku-buku tentang masalah akhlak dari tokoh-tokoh Muslim masa lalu perlu di kaji lewat penelitian-penelitian dan dikembangkan kembali lewat penulisan dan karya-karya dengan maksud ummat Islam belajar dari peristiwa sejarah Islam pada waktu mencapai puncak kejayaan serta keemasannya dan tidak menutup kemungkinan bisa di kembangkan pada masa kini dan masa yang akan datang.
4. Penulis memberikan masukan kepada kita dalam rangka menanggulangi krisis multidimensi yang di alami bangsa Indonesia baik dimasa kini dan masa mendatang hendaknya pemerintah mengkaji ulang undang-undang sistem tujuan pendidikan Nasional, dalam internalisasinya menurut hemat penulis Pemerintah hanya mementingkan nilai intelektualitas semata dan tidak begitu memperhatikan nilai-nilai agama maka akibatnya saat ini terjadi krisis di bidang moral yang berkepanjangan, dan tentunya berbagai pihak menginginkan adanya keseimbangan antara keduanya.
Minggu, 24 Januari 2010
Book Repot Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar