Model-model pengajaran yang disajikan dalam buku ini muncul karena adanya suatu anggapan mengenai tabiat dasar manusia sebagai makhluk sosial dan cara-cara mereka belajar. Model sosial, sebagaimana namanya, menitikberatkan pada tabiat sosial kita, bagaimana kita mempelajari tingkah laku sosial, dan bagaimana interaksi sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Hampir semua penggagas teori model sosial percaya bahwa peran utama pendidikan adalah untuk mempersiapkan warga negara yang akan mengembangkan tingkah laku yang demokratis yang terpadu, baik dalam tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan tarap kehidupan yang berbasis demokrasi sosial yang produktif.
Mereka juga percaya bahwa sebuah usaha yang dilakukan bersama pada dasarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan, mendatangkan kebahagiaan dan semangat serta supel dan mencegah adanya konplik sosial yang dekonstruktif. Selain itu, usaha yang dilakukan bersama-sama tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial, namun juga mendongkrak aspek intelektual. Oleh karena itu, beberapa tugas akademik yang dikerjakan dengan mengandalkan interaksi sosial bisa disiasati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Hanya dengan meningkatkan satu formula ini, perkembangan tingkah laku sosial yang produktif, skill akademik, serta pengetahuan akan sama-sama dicapai.
Para penggagas teori sosial telah mengembangkan beberapa model dengan potensi yang cukup menjanjikan untuk repertoar pembelajaran, khususnya untuk membentuk lingkungan sosial secara keseluruhan. Mereka lebih mendabakan sekolah sebagai sebuah lingkungan masyarakat kecil yang produktif dibanding sekumpulan individu yang hanya belajar sendiri-sendiri. Dalam budaya sekolah yang kooperatif, siswa dapat diajarkan untuk menggunakan model-model pengajaran dan pembelajaran lain untuk memperoleh pegetahuan dan skill dari beberapa model yang di kembangkan tersebut.
Para penggagas teori sosial tidak hanya membuat dasar pemikiran model-model yang telah mereka rancang, tetapi juga telah mengemukakan beberapa pertanyaan serius terkait dengan pola yang biasanya dipakai dalam beberapa sekolah pada umumnya. Dalam beberapa sekolah, umumnya proses pembelajaran diatur oleh masing-masing guru. Intraksi guru dan siswa hanya terbatas pada model pembacaan atau hafalan—guru akan menanyakan apa saja yang telah dipelajari, meminta salah seorang siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian membenarkan atau memperbaiki respons siswa (Sirotnik, 1983). Pola-pola evaluasi yang demikian menjadikan kelas sebagai ruang konpetisi antar satu siswa dengan siswa yang lainnya. Beberapa penggagas teori sosial berpandangan bahwa pola-pola pendidikan individualistik, digambungkan dengan hafalan yang dikuasai seorang guru, sebenarnya merupakan suatu hal yang kontraproduktif, dalam tataran individu maupun sosial. Hal ini di sebabkan model yang demikian hanya menekan angka pembelajaran, menciptakan sebuah interaksi yang tidak alamiah, bahkan menjelma menjadi sebuah iklim yang antisosial, serta simbol kegagalan dalam upaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya dan melatih kemampuannya untuk bekerjasama. Bagaimanapun, manusia pada dasarnya suka bekerja sama, berdebat, berdiskusi, dan selalu berupaya menyaingi kompetensi yang dimiliki lawan debat atau diskusinya (Lih. Johnsosn dan Johnson, 1990. Sharan, 1990, Thelen, 1960).
Gagasan untuk bekerja sama dalam mempelajari hal-hal yang sifatnya akademis dan beberapa upaya untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga Negara yang baik serta membentuk sebuah kehidupan sosial yang memuaskan senjatanya adalah ide yang telah lama muncul. Hal ini misalnya, terlihat dari beberapa tulisan Aristoteles, Plato, dan Arcus Aurelius serta beberapa pendidik kristiani, semisal Thomas Aquinas pada abad pertengahan, dan Johan Amos Comenius pada masa Renaisance. Munculnya negara modern komersial kemudian menuai beberapa tanggapan dalam tulisan-tulisan Jeans-Jacques Rosseau di Prancis, John Lock di Inggris, dan Thomas Jefferson serta Benjamin Franklin di Amerika. Selama masa perkembangan sekolah-sekolah umum di Amerika, Horance Mann dan Henry Barnard sangat menganjurkan adanya sebuah sekolah yang berbasiskan praktik aktif-kooperatif.
Konsep ini secara jelas dan rinci diperkenalkan oleh John Dewey selama pertengahan pertama abad XX. Gagasan awalnya tersebut kemudian menjadi alasan utama kemunculan beberapa tanggapan dalam masa perkembangan beberapa model pembelajaran di sekolah serta dalam aktivitas Progressive Education Association. Gagasan Dewey tersebut kemudian membuka gerbang masa baru yang ditandai dengan penelitian dan pengembangan model model pembelajaran sosial.
Kita akan melihat beberapa tema yang dikembangkan selama evolusi kewarganegaraan Barat dalam beberapa bab selajutnya. Satu diantaranya dikemukakan oleh David dan Roger Johnson dari University of Minnesota. Model kedua dipaparkan oleh Robert Salvin dari Johns Hopkins University, sedangkan model yang ketiga berasal dari Israil, yang merupakan gabungan dari rumusan-rumusan Sahlomo Sharan, Rachel Hertz Lazarowitz, dan beberapa guru serta peneliti lain. Ada beberapa perbedaan diantara rujukan mereka, namun mereka sangat respek dan saling bekerja sama satu sama lain, bahkan kerja sama tersebut kini sudah merambah hingga tahap internasional. Pada perkembangan selanjutnya, penemu teori sosial banyak diikuti oleh beberapa peneliti Erofa. Beberapa bagian tertentu dari penelitian mereka digunakan dan dikembangkan oleh para kolaborator dari Asia. Pada Bab 12, kita akan memulai pembahasan mengenai beberapa prosedur dalam proses pengembangan kemitraan kemudian memprosesnya menjadi sebuah model investigasi kelompok versi kontemporer.
Mitra-Mitra Dalam Pembelajaran
Dari Berpasangan Menuju Investigasi Kelompok
SEKENARIO
Saat siswa kelas lima bimbingan Kelly Farmer memasuki kelas di Sekolah Dasar Savanah pada hari pertama mereka sekolah, mereka mendapatkan daftar nama anggota kelas di tiap-tiap meja. Kelly tersenyum dan mengatakan, “Mari kita mulai dengan perkenalan, lalu dilanjutkan dengan dengan membahas salah satu cara kerja yang akan kita terapkan dalam satu tahun kedepan. Kalian sudah lihat bahawa saya telah menyusun meja berpasangan, dan orang yang duduk disamping kalian akan menjadi partner dalam aktivitas hari ini. Saya ingin masing-masing kelompok mengambil daftar nama anggota kelas dan mengelompokkan nama-nama pertama menurut ejaannya masing-masing. Lalu, kita akan membahas pengelompokan atau kategori yang dibuat masing-masing kelompok. Langkah ini akan membantu kita mempelajari nama-nama itu. Cara ini juga akan memperkenalkan salah satu cara belajar, seperti mengeja dan beberapa pelajaran lain tahun ini. Saya mendengar dari Nona Anis bahwa kalian sudah bekerja secara induktif pada tahun lalu, jadi pada saat ini, kalian sudah mengetahui beberapa cara dan langkah-langkah mengklasifikasi, namun saya ingin tau, apakah kalian punya masalah dengan materi tersebut”.
Para siswa mengerti apa yang harus dilakukan, dan dalam waktu sekejap saja, mereka telah siap untuk membagi klasifikasi yang telah dibuat masing-masing kelompok. “Saya memasangkan Nancy dan Sakky karena nama mereka sama-sama berakhiran ‘y”, saya memasangkan George dan Jerry karena awal kedua namanya terdengar sama, meski diejanya berbeda. Dan saya memborengkan tiga anak yang bernama Kevin”. Tidak lama kemudian, masing-masing kelompok saling berbisik seolah-olah mereka tengah saling membantu dalam belajar mengeja beberapa nama.
Kelly telah memulai awal tahun depan mengatur para siswanya menjadi ”kelompok kooperatif” atau apa yang kami sebut sebagai pengelolaan siswa dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Kelly melatih mereka untuk bekerja sama dalam kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang, atau juga bisa di rangkai menjadi empat, lima, atau bahkan enam (tugas atau kerja kelompok yang lebih banyak dari biasanya secara umum memiliki aktivitas dan produktivitas yang lebih rendah). Pengelompokan akan diubah dalam tiap-tiap aktivitas yang berbeda. Para siswa akan mempelajari bagaimana menerima teman satu kelasnya sebagai anggota kelompok dan belajar bekerjasama untuk untuk menyakinkan bahwa setiap orang berhasil mencapai sasaran tiap-tiap kegiatan.
Kelly mengawali pengajaran dengan pengelompokan secara berpasangan karena cara ini merupakan penglolaan model pengajaran sosial yang paling sederhana. Sebenarnya, latihan-latihan awal dalam aktivitas kooperatif seringkali dilaksanakan dalam bentuk kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang karena interaksi dengan yang lebih sedikit lebih sederhana dibanding dengan kelompok yang meiliki banyak anggota. Oleh karena alasan yang sama, Kelly juga menggunakan tugas-tugas kognitif yang banyak familier untuk latihan awal—yang memudahkan siswa untuk belajar bekerjasama saat mereka tengah tidak bisa menguasai aktivitas yang kompleks pada waktu yang sama. Misalnya saja, dia akan meminta saya mengubah anggota kelompok dan membuat kuis mengenai pengetahuan-pengetahuan ringan, misalnya mengenai nagara dan pajak, dan masing-masing anggota kelompok akan saling mengajari satu sama lain. Dia akan mengubah anggota kelompok dan membuat kelompok baru lalu meminta mereka mengelompokkan serangkaian fraksi berdasarkan ukuran. Masing-masing siswa akan belajar bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas yang berbeda-beda. Lalu, dia akan mengajarkan bagaimana siswa-siswa merespons, tugas-tugas kognitif dari model-model pengajaran memproses informasi yang lebih konpleks, seperti hanya rangkaian tugas model kognitif yang cukup rumit. Pada akhir oktober, dia berharap siswa-siswinya memiliki skill yang cukup sehingga dia bisa memperkenalkan model investigasi kelompok.
Kedua guru dalam skenario diatas telah mengawali tugas membangun komunitas-komunitas pembelajaran. Keduanya akan mengajari siswa bekerjasama secara positif, suatu hal yang sangat baik untuk pembelajaran. Siswa akan bekerja bersama-sama menyerap informasi, membuat dan menguji hipotesis, dan saling melatih untuk mengembangkan skill. Perbedaan kedewasaan antar beberapa anggota kelas akan berpengaruh pada tingkat kecanggihan penelitian mereka meskipun proses dasar yang akan selalu tetaplah sama.
Masing-masing guru ini akan memiliki strategi yang berbeda-beda untuk mengajari siwa-siswanya bekerjasama secara produktif. Mereka sama-sama berpedoman pada beberapa buku berikut; Circle of Learning (Johnson dan Johnson, 1994), Cooperative Learning in the Classroom (Johnson dan Johson, and Holobec, 1994), serta Cooperative Learning Resources for Teachers (Kagan, 1990). Masing-masing sama-sama mengajari siswa, mempelajari bagaimana mereka bisa bekerjasama secara epektif, serta merencakan rancangan aktivitas selanjutnya untuk mengajari siswa bekerjasama secara lebih epektif.
Tujuan-Tujuan dan Asumsi-Asumsi
Asumsi yang mendasari pengembangan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah sebagai berikut:
1. Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar dari pada dalam bentuk lingkungan komptitif individual. Kelompok-kelompok sosial integratif memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada kelompok yang di bentuk secara berpasangan. Perasaan-perasaan saling berhubungan (feelings connectedness) menghasilkan energi yang positif.
2. Anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak dari pada dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya.
3. Intraksi antar anggota, akan menghasilkan aspek kognitif semisal kompleksitas sosial, menciptakan sebuah aktivitas intelektual yang dapat mengembangkan pembelajaran ketika dibenturkan pada pembelajaran tunggal.
4. Kerja sama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain, menghilangkan pengasingan dan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan sebuah pandangan positif mengenai orang lain.
5. Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya melalui pembelajaran yang terus berkembang, namun juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan.
6. Siswa yang mengalami dan menjalani tugas serta merasa harus bekerjasama dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerjasama secara produktif. Dengan kata lain, semakin banyak siswa mendapat kesempatan untuk bekerja sama, maka mereka akan semakin mahir bekerjasama, dan hal ini akan sangat berguna bagi skill sosial mereka secara umum.
7. Siswa, termasuk juga anak-anak, bisa belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja sama.
Dalam tiga puluh tahun terakhir, banyak penelitian yang muncul membahas model pembelajaran kooperatif. Prosedur penelitian yang lebih rumit yang saat ini ada memudahkan pengujian yang lebih baik terhadap asumsi mereka dan perkiraan yang lebih tepat mengenai pengaruhnya terhadap tingkah laku akademik, individu, maupun sosial. Bekerja dengan sebuah kelompok yang terdiri dari tiga peneliti memiliki daya dan manfaat tersendiri. Salah satunya di kemukan oleh Roger Johnson dari University of Minnesota (Johnson dan Johnson, 1974, 1981, 1990). Robert Salvin (1983,1990) dari John Hopkins University dan Shamo Sharan dari University of Tel Aviv sedikit berbeda, baik tim Johnson dan Salvin membuat satu rangkaian investigasi yang secara langsung menguji asumsi mengenai model pengajaran sosial keluarga. Secara khusus, mereka telah meneliti, apakah tugas kerja sama dan struktur penghargaan dapat mempengaruhi hasil pembelajaran secara positif ataukah tidak. Selain itu, mereka juga telah merekomendasikan ditingkatkannya kesatuan kelompok, tingkah laku bekerja sama, dan relasi antar kelompok melalui prosedur pembelajaran yang kooperatif. Dalam beberapa investigasinya, mereka menguji pengaruh tugas kelompok dan struktur penghargaan dalam tugas pembelajaran yang “tradisional”, dimana siswa diwajibkan menguasai beberapa macam materi.
Hal yang penting untuk dipertanyakan adalah apakah kelompok kerja sama benar-benar meningkatkan energi yang kemudian menghasilkan peningkatan hasil pembelajaran. Bukti tersebut sudah jelas. Dalam ruang kelas yang teroganisir dengan bak, siswa mengerjakan tugas dalam sebuah kelompok yang lebih besar, saling mengajari, saling menghargai, maka akan ada sebuah penguasaan yang lebih baik terhadap satu subjek pembelajaran dibanding pola pembacaan dan pembelajaran tunggal (yang dilakukan sendiri). Selain itu, rasa memiliki terhadap tanggung jawab dan intraksi yang intens antar sesama anggota kelompok menghasilkan lebih banyak perasaan positif terhadap masalah tugas , meningkatkan hubungan antar kelompok, dan yang lebih penting adalah menghasilkan sebuah imege diri yang lebih baik dalam diri siswa yang memiliki prestasi kurang baik. Dengan kata lain, secara umum, hasil tersebut menegaskan kebenaran asumsi berdasarkan penggunaan metode pembelajaran yang kooperatif. (Lih. Sharan, 1990).
Sharan dan beberapa koleganya telah mempelajari investigasi kelompok. Mereka telah meneliti banyak hal mengenai beberapa cara untuk membuat dinamika model kerja serta pengaruhnya dalam prilaku kerja sama, hubungan antar kelompok, dan sebuah prestasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kita akan mendiskusikan penelitian yang mereka lakukan seperti beberapa diskusi mengenai investigasi kelompok dalam bab ini.
Manfaat yang menarik dalam prosedur kerjasama adalah campuran dengan mode-model sosial lain, sebagai upaya untuk mengkombinasikan efek dari beberpa model. Misalkan saja, Baveja, Shower, dan Joyce (1985) yang melakukan sebuah penelitian mengenai capaian konsep dan prosedur induktif yang di hasilkan dalam kelompok. Efek tersebut memenuhi apa yang dijanjikann gabungan antara langkah memperoses informasi dengan tujuan model sosial, mencerminkan keuntungan dua kali lebih banyak dibanding kelompok yang menerima pengajaran individu dan kelompok bimbingan yang membahas satu materi yang sama.
Hal yang sama juga terjadi pada Joyce, Murphy, Showers, dan Murphy (1989) yang mengombinasikan pembelajaran bersama dengan beberapa metode pengajaran lain untuk mendapatkan peningkatan prestasi akademik yang dramatis (30 hingga 95 persen). Angka tersebut merupakan peningkatan dengan pertimbangan kemungkinan adanya siswa yang mengalami tingkat penurunan yang sama luasnya sebab aktivitas belajar yang konduksif, misalnya. Kemungkinan terburuk ini merupakan sebuah timbal balik yang jelas antara peningkatan skala kerja sama dengan meningkatnya prilaku yang integratif. Penerapan dari model belajar induktif kata bergambar (PWIM; Picture-Word Inductive Model) pada Bab 22, dengan efek yang cukup penting bagi aspek mlek huruf, digabungkan dengan sebuah atmosfir yang juga konduksif dan strategi pembelajaran kerja sama dengan strategi tertentu.
Guru-guru yang memiliki inovasi model pembelajaran kooperatif memahami bahwa sebuah langkah dan cara yang tepat dalam mengatur siswa untuk berpasangan ataupun berkelompok, misalnya terdiri dari tiga orang, merupakan hal yang mudah. Mereka juga memahami bahwa gabungan support sosial dan meningkatnya kemampuan kognitif yang disebabkan intraksi sosial, kendati sering diremehkan dapat memberikan efek yang sangat ampuh pada waktu singkat, baik dalam aspek pembelajaran akademik maupun aspek skills. Selain itu, pengelompokan dalam proses pembelajaran memberikan seorang (atau beberapa orang) pendamping belajar yang menyenangkan dan bersama-sama mengembangkan skill bersosial serta berempati terhadap orang lain. Tiadanya tugas berkelompok dan beberapa tindakan lain yang merugikan akan sangat megurangi subtansi efektivitas belajar siswa. Siswa merasa nyaman dalam model belajar pengelompokan, sebab mereka dapat meningkatkan perasaan positif terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Ciri menarik lain dari strategi pengelompokan ini adalah posisinya yang memihak pada siswa dengan prestasi akademik rendah. Golongan ini bisa memanfaatkan strategi pengelompokan secara langsung. Pengelompokan meningkatkan rasa keterlibatan. Fokus untuk bekerjasama juga merupakan suatu hal yang dapat menghilangkan sifat yang cepat menyerah dan meningkatkan tanggung jawab belajar pribadi. Dengan konsisten dan bertahap, sistem ini akan membuat semua siswa, dalam hal ini anggota kelompok, untuk memiliki sifat rendah hati. Kapasitas efek dari pembelajaran sosial dan penghargaan terhadap diri siswa bisa terlihat jelas jika dibandingkan dengan organisasi ruang kelas yang tidak menerapkan sistem pengelompokan. (Joyce, Calhoun, Jutras, dan Newlove, 2006; Joyce,Hrycauk, Calhoun, dan Hrycauk, 2006).
Namun anehnya, kita terkadang menjumpai guru atau orang tua tertentu yang percaya bahwa siswa yang meraih sukses—karena kemampuannya sendiri tanpa bekerjasama dengan orang lain—tidak akan mendapat manfaat dari sistem kerja sama antarsiswa. Kadang-kadang, kepercayaan ini tercermin dalam ungkapan “siswa yang berbakat lebih baik bekerja sendiri”. Bukti rill dari lapangan berseberangan dengan kepercayaan tersebut. (Salvin, 1991, Joyce, 1991a). Mungkin saja, kesalahpahaman dalam konsep hubungan antara teknik pembelajaran sendiri dan kelompok dibebaskan adanya kepercayaan mengenai ketekunan. Mengembangkan sistem pengelompokan tidak berarti bahwa usaha individu tidak dibutuhkan. Dalam cerita kelas Ibu Hiltepper, semua person dalam kelas membaca puisi. Saat mengelompokkan beberapa puisi tersebut, masing-masing person menyumbangkan gagasan dan idenya serta mempelajari gagasan temannya yang lain. Masing-masing siswa tidaklah diremehkan, namun hanya didorong untuk mampu bekerjasama dengan teman sekelasnya. Siswa yang sukses tidak berarti siswa yang kurang mampu bekerjasama. Dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai diri individual (tanpa kerja sama dengan orang lain), siswa kerap kali mendengar hinaan dan kata-kata yang tidak menyenangkan tentang siswa yang kurang sukses dan gagal menjadi siswa dan manusia yang baik, baik lingkungan sekolah dan pada masa yang akan datang.
Meningkatkan Efisiensi Pengelompokan: Latihan Bekerjasama
Sebab ketidakjelasan dalam memahami pola kerja sama, membuat beberapa orang tertentu kadang memiliki reaksi awal yang tidak menyenangkan saat ditanyakan mengenai pengelompokan siswa dalam kelas. Mereka umumnya berfikir bahwa pola ini tidak akan mendorong siswa untuk belajar dan bekerjasama secara produktif. Padahal senyatanya, pengelompokan dalam melaksanakan tugas-tugas sederhana tidaklah terlalu bergantung pada skill sosial. Hampir semua siswa memiliki kemampuan dalam bekerja kelompok jika mereka mengetahui bagaimana perintah tugas yang mereka dapatkan secara detail.
Bagaimana mengembangkan cara yang lebih efektif dalam kerja sama jelas sangat penting. Ada beberapa panduan untuk membantu siswa agar mampu menciptakan iklim pengelompokan yang lebih efesien dan lebih peraktis. Bimbingan dan langkah-langkah tersebut terkait erat dengan jumlah siswa dalam masing-masing kelompok, kompleksitas, dan praktik.
Ilustrasi awal kami adalah pengelompokan sederhana, dengan dua siswa dalam suatu kelompok yang ditugaskan menyelesaikan sebuah tugas kognitif. Alasan pemilihan dua orang siswa dalam sebuah kelompok ini karena teknik tersebut merupakan cara paling sederhana dalam organisasi sosial. Salah satu cara untuk merangsang kemampuan siswa untuk bekerja sama adalah menyediakan sebuah wadah dalam aturan sederhana, dimana satu kelompok terdiri dari dua atau tiga orang. Pada intinya, guru memberi aturan kompleksitas melalui tugas yang di berikan dan jumlah anggota yang ditentukan dalam tiap-tiap kelompok. Jika para siswa belum biasa bekerja sama, ada baiknya guru menggunakan kelompok terkecil dengan tugas sederhana, agar para siswa memiliki pengalaman awal yang dibutuhkan untuk menjalani pengelompokan dengan jumlah yang lebih besar pada masa selanjutnya. Sebuah kelompok yang disuguhi tugas dan memiliki lebih dari enam anggota akan menjadikan para kagok. Banyaknya anggota kelompok ini juga akan membutuhkan skill kepemimpinan, yang tidak dapat di miliki kecuali dengan pengalaman atau latihan. Pengelompokan yang paling umum di gunakan adalah pengelompokan yang terdiri dari dua, tiga, atau empat anggota. Praktik semacam ini dapat meningkatkan efisiensi. Jika kita mulai pembelajaran dengan format berpasangan dan memperaktikkannya dalam beberapa minggu saja, kita akan menjumpai produktivitas siswa-siswa kita meningkat.
Latihan untuk Efisiensi
Ada juga metode untuk melatih siswa agar bisa bekerja sama dengan lebih efesien dan memiliki rasa “saling ketergantungan yang positif” (lih. Kagan, 1990; Johson dan Johnson, 1999). Isyarat sederhana, misalnya mengangkat tangan dapat di gunakan untuk menarik perhatian dari sebuah kelompok yang tengah sibuk. Suatu prosedur yang biasanya digunakan adalah menekankan bahwa ketika seseorang instruktur mengangkat tangannya, seseorang yang ditunjuk untuk mengangkat tangannya pula, dan ini berarti semua prosedur intruksi kelompok telah dijalankan. Prosedur semacam ini bagus dan menarik karena mengajarkan siswa untuk tidak berteriak ditengah keributan kelompok yang tengah sibuk dan mengajak siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses manajemen.
Kagan (1990) telah mengembangkan beberapa prosedur dalam mengajari siswa bekerjasama demi satu tujuan dan dan untuk memastikan bahwa semua siswa sama-sama berpartisipasi aktif dalam tugas kelompok. Misalnya adalah apa yang disebut “nomor kepala (nomored heads)”. Katakan misalnya, guru telah membagi kelas menjadi kelompok yang masing-masing terdiri tiga orang. Masing-masing anggota dalam satu kelompok memiliki angka dari satu hingga tiga. Dan tugasnya adalah, “Ada beberapa metapora yang Anda dapatkan dalam satu halaman dalam prosa ini? Semua anggota bertanggung jawab dan harus menguasai tugas. Setelah melewati sebuah interval yang cocok, instruktur memanggil satu nomor—misalnya, “nomor dua”. Satu orang dari masing-masing kelompok mengangkat tangannya. Mereka harus menjadi juru bicara kelompok. Yang lain harus mendengar dan memperhatikan jawaban dari siswa yang tengah memperesentasikan hasil diskusi kelompoknya. Misalnya, jika responnya “tujuh”, siswa lain bertanggung jawab menguji respons tersebut dan mencocokkannya dengan hasil kerja kelompoknya. Ada berapa kelompok yang setuju? Lalu ada berapa yang tidak? Prosedurnya kemudian diatur sedemikian rupa untuk memastikan bahwa beberapa persen tidak menjadi “pembelajar” dan “juru bicara” untuk kelompok mereka masing-masing, sedang yang lain diperintahkan untuk menumpang saja.
Juga, untuk beberapa tugas lain diperintahkan yang cocok, guru bisa memberikan pretest. Contohnya adalah ketika mempelajari sebuah kata untuk dieja. Setelah pretest, guru memberikan beberapa tugas yang dapat membantu siswa mempelajari kata-kata. Lalu, sebuah interval bisa disediakan untuk para siswa agar dapat saling mempelajari. Proses ini kemudian diakhiri dengan sebuah pretest. Masing-masing kelompok kemudian akan menghitung skor yang didapatkan, (nomor soal yang benar dalam posttest dikurangi nomor soal yang benar dalam pretest), serta memberi bagian pada masing-masing anggota untuk dipelajari. Disamping menerapkan pembelajaran bersama-sama, prosedur tersebut dapat menjelaskan bahwa pembelajaran yang dianggap telah dicapai merupakan tujuan beberapa latihan yang dilakukan. Jika hanya menggunakan posttest, tidak akan jelas mana siswa yang benar-benar belajar-, yakni siswa yang memperoleh nilai yang tidak lebih tinggi dari nilai yang mereka dapatkan dalam pretest.
Satu rangkaian tugas latihan dapat membantu siswa belajar berpasangan dengan lebih efektif, untuk meningkatkan bagiannya satu sama lain, dan bekerja dengan tekun untuk belajar bersama-sama.
Latihan untuk Interdependensi (Saling Bergantung Satu Sama Lain)
Selain praktik dan latihan untuk memiliki prilaku kerja sama yang lebih efisien, beberapa prosedur untuk membantu siswa memiliki rasa ketergantungan satu sama lain sangatlah dibutuhkan. Kompleksitas (kerumitan) yang paling sederhana sekalipun melibatkan refleksi dalam proses kelompok serta diskusi mengenai cara bekerja sama yang paling efektif. Kompleksitas yang sedikit lebih rumit akan melibatkan kelengkapan tugas yang membutuhkan prilaku saling ketergantungan. Misalkan saja dalam ‘kartu permainan’. Keberhasilan dalam permainan ini bergantung pada ‘diserahkannya kartu yang sangat berharga kepada pemain lain. Contoh lain adalah permainan komunikasi, yang untuk memperoleh kemenangan, seorang pemain harus mengambil posisi pemain lain. Permainan yang biasa dilakukan, seperti Charades dan Pictionary memang populer di semua kalangan, karena permainan ini bisa meningkatkan kohesi (kesatuan) dan kemampuan untuk memosisikan diri pada posisi orang lain. Ada juga prosedur untuk memutar tugas sehingga masing-masing orang dapat beralih dari posisi nomor dua menjadi satu dan masing-masing anggota kelompok bisa menjadi kordinator.
Johnson dan Johnson (1999) telah memaparkan bahwa rangkaian tugas ini dapat meningkatkan rasa saling ketergantungan, empati, dan peran pengalihan kemampuan. Selain itu, rangkaian tugas ini juga membuat siswa memiliki keahlian dalam menganalisis dinamika kelompok dan belajar menciptakan iklim kerja sama kelompok yang memuat hubungan saling mengantungkan antar masing-masing siswa dan adanya tanggung jawab kolektif. Peran model permainan ini dalam pelajaran akan didiskusikan pada bab selanjutnya. Peran-peran ini akan dibentuk sedemikian rupa untuk mengembangkan siswa menganalisis nilai-nilai kerja sama dan bekerjasama untuk mengembangkan rujukan kerangka interaktif.
Pembagian Kerja: Spekulasi
Salah satu ragam prosedur yang telah dikembangkan untuk membantu siswa mempelajari cara saling membantu adalah teknik pembagian tugas. Pada intinya, tugas yang diberikan dalam beberapa kesempatan dapat meningkatkan efesiensi pembagian kerja. Alasan yang paling mendasar adalah karena pembagian kerja dapat meningkatkan kesatuan kelompok sebagai sebuah tim kerja untuk menyerap dan mempelajari informasi dan skill sembari memastikan bahwa masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk belajar dan menyadari betul peran penting yang ada dalam sistem pengelompokan. Bayangkan misalnya, sebuah kelas tengah mempelajari geografi bagian Afrika. Kelas dibagi menjadi empat bagian. Masing-masing kelompok mempelajari satu negara khusus . Satu anggota dari masing-masing tim menjadi perwakilan kelompok sebagai “ahli negara”. Ahli negara dari masing-masing kelompok tersebut akan berkumpul dengan ahli negara dari kelompok lain dan mempelajari negara yang menjadi bagian pembahasan masing-masingkelompok serta menjadi tutor untuk kelompok mereka sendiri. Ahli negara ini juga bertanggung jawab dalam tugas menyimpulkan informasi dan mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya pada ahli negara lain. Atau dengan cara yang hampir sama, yakni ketika siswa disuguhi tugas yang mengharuskan hafalan, masing-masing kelompok akan membagi tanggung jawab untuk membuat beberapa bagian informasi yang harus dipelajari.
Sebuah prosedur yang dikenal dengan nama jigsaw (Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, dan Snapp 1978; Salvin, 1983) telah digunakan untuk mengembangkan organisasi formal dalam pembagian kerja. Hal ini sangatlah teratur dan cocok sebagai sebuah perkenalan pada proses pembagian kerja. Meskipun organisasi kelas yang menempatkan siswa secara individual memberikan ruang bagi individu untuk melatih skill yang telah dikembangkan, prosedur pembagian kerja mengharuskan siswa untuk mengalirkan peran, sembari mengembangkan skill mereka dalam semua bidang.
Struktur Tujuan yang Kooperatif dan Konpetitif
Beberapa pengembang teori pendidikan telah membentuk sebuah tim untuk bertanding satu sama lain dalam menitikberatkan tujuan kooperatif dan meminimalisir kompetisi tim. Johnson dan Johnson (1990) telah menganalisis penelitian dan mengatakan bahwa bukti yang ada mendukung struktur tujuan kerjasama, namun Salvin (1983) berargumen bahwa kompetisi antarkelompok dapat menguntungkan pembelajaran. Pertanyaan dasarnya adalah apakah siswa diorientasikan untuk berkompetisi satu sama lain atau berkompetisi dengan sebuah tujuan. Baru-baru ini, beberapa kolega kami telah mengatur kelas untuk bekerjasama dalam menghasilkan satu tujuan.
Misalkan saja, departemen ilmu pengetahuan dalam sebuah SMU memulai pelajaran kimia dengan mengatur kurikulum agar para siswa menguasai ciri-ciri utama dari Tabel Elemen. Dalam sebuah tim, mereka membuat beberapa hal yang dapat merangsang ingatan dan bisa digunakan oleh semua anggota tim. Dalam dua minggu saja, semua siswa mengetahui dan menguasai semua bagian tebel secara keseluruhan. Dalam sebuah kelompok yang beranggotakan siswa kelas lima, ekplorasi pembelajaran sosial dimulai dengan menghafalkan beberapa negara, kota besar, sungai, gunung, dan informasi dasar lain mengenai geografi Amerika Serikat. Skor kelas kemudian dihitung (misalkan saja, 30 siswa mencatat 50 negara, sehingga ada 1.500 negara). Tujuannya adalah mencapai skor yang memadai. Kelas tersebut mencapai skor sekitar 1.450 dalam satu pekan. Skor yang sangat jauh berbeda dengan hasil yang menggunkan sistem individu.
Motivasi: Dari Luar Atau dari Dalam
Isu mengenai seberapa besar hal yang harus ditekankan dalam tujuan kelompok dan individu berkait erat dengan konsep motivasi. Sharan (1990) mengatakan bahwa pembelajaran dengan sistem pengelompokan dapat meningkatkan sebagian proses pembelajaran, sebab pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternal pada tataran internal. Dengan kata lain, ketika siswa bekerjasama dalam menyelesaikan sebuah tugas, mereka akan tertarik pada materi pembelajaran tersebut karena menyadari kepentingannya sebagai siswa terhadap materi tersebut. Siswa tidak lagi mengharap penghargaan dari pihak luar. Oleh karena itu, siswa akan secara aktif ikut serta dalam pembelajaran demi kepuasan pribadi yang dikejarnya. Ia hanya memiliki sedikit ketergantungan pada pujian dari guru atau pihak lain. Motivasi internal akan menghasilkan peningkatan rating pembelajaran dan ingatan yang kuat terhadap informasi dan keterampilan.
Kerangka referensi komunitas pembelajaran kooperatif adalah sebuah hal yang bertentangan dengan perinsip yang dipercaya beberapa sekolah dalam membimbing terlaksananya ujian dan pemberian imbalan atau nilai plus bagi prestasi siswa. Tidak diragukan lagi, salah satu tujuan besar pendidikan secara umum adalah untuk meningkatkan pembelajaran demi memperoleh kepuasan. Jika sebagian prosedur-pembelajaran dengan sistem berkelompok (antar satu sama lain) berhasil karena prosedur-prosedur tersebut berperan dalam mensukseskan tujuan maka aktivitas menguji dan memuji struktur yang berlaku dalam sebagian besar lingkungan sekolah bisa menjadi faktor yang memperlambat proses pembelajaran. Saat kita membahas investigasi kelompok sebuah model hebat yang dapat mengubah lingkungan secara radikal –perhatikanlah betapa berbedanya tugas struktur kooperatif serta prinsip-perinsip motivasi kita amati dalam beberapa sekolah modern.
SUMBER RUJUKAN
Bruce Joyce, et. al., Models of Teaching, Buston New Y
Sabtu, 23 Januari 2010
Kelompok Model Pengajaran Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar